Kalimantan Timur berada di tepi krisis ekologis. Izin tambang melampaui luas daratan, laju deforestasi, dan banjir berulang menunjukkan bagaimana kebijakan ruang di provinsi ini bergerak tanpa kendali.
EKSPOSKALTIM, Balikpapan - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyoroti maraknya aktivitas tambang dan laju deforestasi di Kalimantan Timur (Kaltim). Dua hal ini dinilai saling terkait dan mendorong risiko bencana ekologis di Bumi Etam.
JATAM menegaskan hilangnya tutupan hutan dalam skala besar telah merusak fungsi hidrologis kawasan dan memicu banjir maupun kelongsoran seperti sejumlah bencana besar yang terjadi di Sumatera beberapa tahun terakhir.
JATAM mencatat tumpang tindih besar dalam pola perizinan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Luas daratan Kaltim hanya 12,7 juta hektare (ha), tetapi total izin yang sudah dikeluarkan mencapai 13,8 juta ha. Artinya, izin yang terbit melampaui luas wilayah itu sendiri.
Divisi Advokasi dan Database JATAM, Windy Pranata, menyebut BPBD mencatat 980 kejadian banjir di Kaltim sepanjang 2018–2024. Menurutnya, rangkaian bencana ini bukan kejadian alam biasa, tetapi erat dengan obral izin, pembukaan lahan tambang, kerusakan lingkungan, serta maraknya tambang ilegal.
Situasi bisa makin buruk dengan rencana penambangan skala besar PT Pari Coal di hulu Sungai Mahakam. Kaltim juga tercatat sebagai provinsi dengan laju deforestasi tertinggi pada 2024. “Kaltim sudah menunjukkan tren bencana yang tercipta dari kebijakan politik ruang yang tidak mengutamakan kerentanan bencana dan keselamatan rakyat,” ujarnya, Selasa (2/12).
Windy menjelaskan hampir seluruh wilayah Kaltim masuk kategori rawan banjir dan longsor. Ia mencontohkan banjir besar Berau pada Mei 2021 yang menelan 2.308 KK terdampak.
Windy menegaskan beberapa wilayah berada dalam kondisi kritis. Di Kutai Barat, izin tambang mencapai 1,43 juta ha dari total luas 1,73 juta ha atau sekitar 82 persen daratan. Kutai Timur memiliki izin sekitar 1,6 juta ha atau 46 persen wilayah. Sementara Kutai Kartanegara memiliki izin sekitar 1,10 juta ha atau 40 persen dari luas daerah.
Masalah ini makin parah sejak kewenangan daerah dalam perizinan tambang ditarik ke pemerintah pusat melalui revisi UU Minerba 2009. JATAM menilai pengawasan tambang, reklamasi, dan pascatambang di Kaltim semakin lemah. Meski fungsi pengawasan formal tidak dicabut, pejabat daerah dianggap makin acuh karena tak lagi memegang kuasa penerbitan izin.
Jumlah inspektur tambang yang hanya sekitar 30 orang untuk mengawasi jutaan hektare izin disebut tak mungkin bekerja optimal. Kondisi ini menunjukkan minimnya keseriusan pemerintah pusat maupun daerah dalam penegakan hukum. Windy menyamakan pola ini dengan situasi di Sumatera sebelum munculnya bencana besar.
Ia juga menyoroti kondisi warga Sanga-Sanga RT 24 yang saban tahun harus menghadapi banjir dan lumpur. Hilangnya tutupan hutan dan terbengkalainya lubang tambang membuat situasi makin parah meski perusahaan sudah berhenti beroperasi. Kekeringan sumur di Kelurahan Jawa, Sanga-Sanga, juga disebut berkaitan dengan operasi pertambangan PT Adimitra Baratama Nusantara.
“Situasi ini memperlihatkan dampak sosial dan ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat, mulai dari akses air bersih yang terganggu hingga banjir tahunan yang semakin parah,” jelasnya.
JATAM menegaskan pemerintah harus segera mengambil langkah untuk mencegah Kaltim mengalami bencana ekologis seperti Sumatera. Langkah itu mencakup perubahan haluan kebijakan, pencabutan izin yang terbukti merusak lingkungan, penghentian ekspansi industri ekstraktif di hulu sungai dan daerah rawan bencana, serta pengembalian ruang kelola kepada masyarakat lokal dan adat.
JATAM juga menuntut audit lingkungan menyeluruh terhadap seluruh perusahaan tambang di Kaltim. Selama audit berlangsung, seluruh aktivitas tambang harus dihentikan. Pemerintah juga diminta menegakkan hukum secara tegas dan terbuka serta memastikan pemulihan lingkungan berjalan.
“Tanpa langkah politik semacam ini, setiap rencana pembukaan tambang baru, perluasan perkebunan, atau megaproyek energi di Kaltim hanya akan memperpanjang daftar korban banjir dan longsor, bahkan bencana kemanusiaan lainnya,” tutup Windy.



