Tragedi enam anak meninggal di kubangan proyek perumahan Balikpapan mulai terkuak sebagian tabirnya. Tim PERADI turun tangan dan menemukan sejumlah fakta yang menantang penjelasan pengembang dan aparat.
EKSPOSKALTIM, Balikpapan - Tragedi tewasnya enam anak di kolam galian proyek pematangan lahan di Graha Indah, Balikpapan Utara, memunculkan sorotan serius terhadap standar keselamatan di kawasan yang diduga terkait perluasan perumahan Grand City Balikpapan.
Temuan PBH Peradi Balikpapan menunjukkan area itu dibiarkan tanpa pagar, tanpa penjagaan, dan tanpa peringatan bahaya, meski berada tak jauh dari permukiman. Ketua PBH Peradi Balikpapan, Ardiansyah, menyebut lokasi kejadian tidak dilengkapi pagar pembatas, pos keamanan, maupun papan larangan.
“Di TKP tidak ditemukan adanya pagar pembatas, pos security dan papan pemberitahuan yang menandakan kawasan tersebut adalah kawasan berbahaya dan terlarang bagi anak-anak untuk bermain khususnya untuk mandi/berenang,” ujarnya, Kamis (20/11).
Hasil pengecekan PBH memperlihatkan kolam galian berjarak 285 meter dari jalan umum dan sekitar 526 meter dari rumah para korban. Di sekitar lokasi hanya terdapat satu papan yang menandakan kepemilikan lahan oleh PT Sinar Mas Wisesa, dengan larangan memasuki kawasan tanpa izin.
Dua hari setelah kejadian, PBH menemukan pagar baru mulai dipasang oleh empat pekerja di sekitar area tersebut. Warga juga mengaku tidak pernah diajak konsultasi publik terkait penyusunan AMDAL untuk rencana pematangan lahan maupun perluasan perumahan.
Hingga berita ini tayang, keluarga korban belum menerima panggilan pemeriksaan dari kepolisian terkait dugaan tindak pidana yang menyebabkan enam anak meninggal. Keresahan warga bertambah setelah Wakil Wali Kota Balikpapan menyampaikan pernyataan bahwa “tanah TKP bukan milik PT Sinar Mas Wisesa,” pernyataan yang oleh keluarga korban dianggap terlalu dini dan memihak perusahaan sebelum hasil investigasi aparat keluar.
PBH Peradi Balikpapan kemudian menyampaikan empat sikap. Pertama, meminta Pemkot Balikpapan melalui DP3AKB memberikan pendampingan psikologis kepada keluarga korban. Kedua, mendesak kepolisian memproses pertanggungjawaban pidana pihak-pihak yang terlibat dalam pengerjaan lahan. Ketiga, meminta pemerintah memastikan pemilik lahan memasang pagar pengaman di sekitar lokasi.
"Keempat, mengecam pernyataan Wakil Wali Kota yang dinilai tendensius dan berpotensi mengaburkan tanggung jawab perusahaan," jelasnya.
Kubangan Terbentuk akibat Perbedaan Elevasi
Manajemen pengembang perumahan Grand City Balikpapan menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya enam anak di kolam galian proyek pematangan lahan di Kelurahan Graha Indah, Balikpapan Utara. Pihak perusahaan menegaskan musibah tersebut menjadi perhatian serius dan akan menjadi evaluasi besar bagi operasional mereka ke depan.
“Kami sangat berempati, terlebih karena para korban adalah anak-anak. Dalam kesempatan ini, kami juga menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban,” ujar Piratno, perwakilan Land Acquisition, Permit, dan Security Kalimantan, saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Balikpapan, Selasa (18/11).
Menurutnya, lokasi kejadian berada di area yang berbatasan dengan tanah warga, dan perbedaan elevasi di titik tersebut menyebabkan terbentuknya kubangan hingga air menggenang. Kondisi itu diperparah oleh hujan dan belum tuntasnya proses penataan lahan.
Manajemen Grand City menyebut sedang memproses pemberian santunan kepada keluarga korban. Selain itu, perusahaan telah diminta melakukan pemagaran pada area berisiko dalam waktu 2 x 24 jam. “Kami sudah mendapat arahan agar segera melakukan pemagaran di lokasi kejadian demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Piratno menyatakan pihaknya sebenarnya telah memasang rambu larangan memasuki area proyek di jalur akses masuk. “Rambu itu terlihat jelas di titik masuk. Untuk batas yang bersinggungan dengan tanah warga, sebagian juga ada, termasuk tanda bertuliskan ‘sengketa lahan’,” ujarnya.
Terkait kubangan, Piratno menjelaskan tidak ada kegiatan pengurukan di area itu. Pengembang sedang merencanakan akses tembus menuju kilometer 8 sehingga terjadi penyesuaian lahan. “Karena elevasinya berbeda dan musim hujan, air menggenang dan terbentuk kubangan,” katanya.
Ia memaparkan tiga opsi penanganan yang selama ini dipertimbangkan perusahaan: pembebasan lahan warga yang terkurung, penyesuaian elevasi tanah, dan meminta kejelasan kepada pemilik awal yang menjual lahan kapling tersebut. Namun ketiganya belum menemukan jalan keluar. “Total pemilik kapling sekitar 110 orang, sebagian bersedia, sebagian tidak. Prosesnya jadi terhenti,” jelasnya.
Pihak pengembang menyebut terdapat tujuh petugas keamanan yang melakukan patroli mobile setiap hari mengingat luas lahan mencapai 256 hektare. Penjagaan tetap hanya ditempatkan di klaster perumahan. Di area bawah, perusahaan mengklaim telah membuat saluran air sepanjang 10 meter, namun fungsinya tidak optimal karena pekerjaan terhenti akibat masalah lahan.
Terkait kemungkinan sanksi hukum, manajemen menyatakan siap bekerja sama. “Semua akan dilihat berdasarkan perizinan yang kami miliki. Kami kooperatif dan siap menunjukkan dokumen bila diperlukan. Kami ingin peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kami agar lebih berhati-hati,” ujar Piratno.


