
Balikpapan, EKSPOSKALTIM – Populasi Pesut Mahakam kini benar-benar di ujung tanduk. Mamalia air tawar khas Kalimantan Timur itu nyaris hilang dari habitatnya sendiri dan kini tinggal dihitung jari. Peneliti dan aktivis konservasi menyambut langkah Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol yang mulai memberi atensi khusus.
Data terbaru menunjukkan, 67 persen kematian pesut disebabkan jerat jaring insang. Sisanya akibat pencemaran limbah industri dan tabrakan dengan kapal tongkang di Sungai Mahakam. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menanggapi situasi ini dengan menyiapkan tiga solusi berbasis regulasi untuk menekan angka kematian pesut.
“Minimnya populasi pesut dan tingginya angka kematian akibat aktivitas manusia membuat kami segera berkoordinasi. Semua pihak harus menerapkan instrumen hukum yang ada demi mencegah kepunahan ikon biodiversitas Kalimantan ini,” kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLH, Inge Retnowati, Jumat (3/10).
Pesut Mahakam kini berstatus kritis (critically endangered) dalam daftar merah IUCN dan termasuk Apendiks I CITES, kategori tertinggi untuk spesies terancam punah. KLH menegaskan tiga langkah utama akan diambil. Memastikan asas keanekaragaman hayati dijalankan, mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan RTRW dan RPJP, serta memperkuat konservasi dan pencadangan sumber daya alam.
“Langkah terpadu ini diharapkan bisa menekan laju kematian dan membuka harapan baru bagi keberlangsungan hidup Pesut Mahakam,” ujarnya.
Tak Bisa Hanya 1 Kementerian
Koordinator Program Ilmiah Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, angkat bicara. Dia melihat upaya KLH merupakan “angin segar” yang sudah lama ditunggu.
RASI sejak lima tahun lalu telah memperjuangkan penetapan zonasi konservasi pesut Mahakam, yang akhirnya diresmikan pada 2022 di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun pengawasan di lapangan, kata Danielle, masih menemui banyak kendala lintas sektor.
“Kami sudah mengajukan pembahasan ke Satprov pada Juni lalu tentang masalah lalu lintas sungai dan pencemaran. Tapi ini tidak bisa diselesaikan satu kementerian saja,” katanya, Sabtu (4/10).
Danielle menilai langkah KLH yang menjadikan pesut sebagai spesies prioritas sangat tepat. Sebab, persoalan Mahakam bukan hanya soal konservasi. Tapi juga tata kelola lalu lintas sungai, pencemaran, hingga pembukaan lahan di sempadan sungai.
“Konservasi bukan tanggung jawab satu pihak, tapi kerja bersama lintas kementerian. Kalau mau bikin rencana aksi cepat, kontribusi multi-stakeholders itu wajib,” tegas Danielle.
RASI berharap KLH segera melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, dan instansi lain dalam rapat lintas kementerian yang akan digelar. Penegakan hukum juga diminta berjalan konsisten agar pelanggaran di sungai bisa ditekan.
Dari Jaring Insang hingga Tongkang Batu Bara
Ancaman pesut tak berhenti di jaring nelayan. Aktivitas hauling batu bara dan parkir tongkang di habitat pesut juga menjadi sorotan RASI. Kapal-kapal besar yang bersandar di pinggiran sungai membuat pesut kehilangan ruang gerak dan daerah mencari makan.
“Pada Juli, saat aktivitas pengangkutan batu bara menurun, kualitas air langsung membaik. Tapi di April, pencemaran logam berat seperti tembaga dan kadmium meningkat drastis,” kata Danielle.
RASI menilai daya dukung Sungai Mahakam sudah terlampaui. Pencemaran dari limbah industri dan tumpahan batu bara terus memperparah kondisi. Selain itu, kebisingan dari lalu lintas kapal membuat pesut terganggu, bahkan berisiko mati di anak sungai.
RASI bersama KKP telah melaksanakan program kerja sama dengan nelayan. Sekitar 70 persen kematian pesut disebabkan oleh jaring insang, sehingga mereka memperkenalkan alat dengar bawah air (acoustic device) di jaring.
“Pesut akan menjauh sekitar 10 meter dari jaring saat mendengar alat itu. Sudah terpasang 270 alat di perairan sungai, digunakan oleh 159 nelayan, dan sejauh ini tidak ada pesut yang mati di jaring,” jelas Danielle.
Meski begitu, ancaman lain masih mengintai. RASI meminta patroli hukum diperketat untuk mencegah penggunaan racun di sungai, serta melarang kebun kelapa sawit menggunakan pestisida di tepi perairan.
“Pada akhir 2024 hingga April 2025, jumlah kapal meningkat dan limbah logam berat melonjak. Itu berbahaya bagi manusia maupun pesut,” katanya.
RASI juga aktif melakukan penyuluhan ke masyarakat, melatih nelayan melepas pesut yang terjerat, serta edukasi di sekolah mengenai bahaya sampah jaring plastik yang bisa membunuh ikan kecil-rantai makanan penting bagi pesut.
Danielle menegaskan pesut Mahakam bukan sekadar satwa, tapi bagian dari budaya masyarakat sungai. Gerak renangnya membantu sirkulasi air, memperkaya rantai makanan, dan menjaga ekosistem tetap subur.
“Pesut Mahakam sudah berevolusi menjadi spesies air tawar selama setengah juta tahun. Mereka tidak bisa keluar dari Sungai Mahakam lagi. Itu sangat unik dan sayang kalau punah,” ujarnya.
Perempuan asal Belanda yang telah meneliti pesut di Mahakam sejak tahun 1990-an ini berharap pemerintah bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. “Dengan jumlah hanya sekitar 60 ekor, mereka tak bisa menunggu terlalu lama. Pemerintah harus segera bergerak,” tutup Danielle.
Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !