Thomas bukan satu-satunya. Ada sekitar 40 penjoki lain yang menggantungkan hidup pada rakit bambu ini
Barabai, EKSPOSKALTIM - Matahari pagi baru menyentuh permukaan Sungai Amandit di Desa Lok Lahung, Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Gemericik air berpadu dengan desir angin hutan tropis.
Hening, tapi penuh kehidupan. Di tepian sungai, seorang lelaki paruh baya, Thomas Harianto, tampak sibuk merakit potongan bambu berdiameter sebesar lengan orang dewasa. Sekitar 12 hingga 16 batang disusun rapat menjadi satu rangkaian rakit.
“Dulu kami menyebutnya lanting, sekarang orang mengenalnya sebagai bamboo rafting,” ujar Thomas, warga asli Suku Dayak Meratus yang sejak 2015 menjadi pemandu wisata air.
Thomas bukan satu-satunya. Ada sekitar 40 penjoki lain yang menggantungkan hidup pada rakit bambu ini. Setiap hari mereka membawa wisatawan menyusuri Sungai Amandit dengan tongkat bambu sebagai kemudi. Medannya tidak main-main. Arus deras, batu-batu besar, dan dahan tumbang jadi tantangan alami yang justru menambah daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Sepanjang lintasan sungai, para pengunjung disuguhi lanskap geologi yang luar biasa: batuan metamorf berusia 108–182 juta tahun dari era Jura, hingga granit Batanglai berumur 96–135 juta tahun dari zaman Kapur Akhir. Di sela aliran air, terbentang pula hutan bambu yang tumbuh di tanah hasil pelapukan vulkanik—sumber bahan utama rakit yang menghidupi masyarakat setempat.
Perjalanan terpanjang bisa mencapai 14 kilometer. Setelahnya, wisatawan diantar kembali ke penginapan oleh warga lokal, cukup membayar ongkos puluhan ribu rupiah. Untuk tarif bamboo rafting, para penjoki mematok harga antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per trip, tergantung rute dan waktu tempuh yang bisa mencapai tiga jam.
Dari wisata inilah ekonomi gotong royong lahir. Warga membuka warung makan, penginapan, jasa ojek, hingga persewaan perlengkapan wisata. Loksado kini hidup dari aliran sungai yang sama yang dulu hanya jadi jalur pengangkutan hasil kebun.
Dari Transportasi Tradisional ke Wisata Dunia
Sebelum 1994, lanting hanyalah sarana transportasi bagi warga Dayak Meratus untuk mengangkut hasil hutan dan panen ke kota. Jalan darat belum layak, hanya setapak yang sulit dilalui. Baru pada 2015, warga mulai memanfaatkan lanting untuk wisata. Tahun berikutnya, atraksi ini diangkat dalam Festival Loksado, yang kemudian dikenal luas sebagai Festival Bamboo Rafting.
Festival itu menjadi ajang tahunan yang mempertemukan kebudayaan Dayak Meratus dengan wisata alam Pegunungan Meratus. “Bamboo rafting bukan sekadar wisata air, tapi warisan tradisi masyarakat Dayak Meratus yang kini menjadi ikon kebanggaan daerah,” kata Sekda Hulu Sungai Selatan, Muhammad Noor.
Tahun 2018, bamboo rafting resmi menjadi bagian dari Geopark Meratus, bersama 53 situs lain yang ditetapkan Komite Nasional Geopark Indonesia. Geopark adalah kawasan dengan warisan geologi bernilai tinggi, yang dikelola secara terpadu untuk tujuan konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Bamboo Rafting Loksado tercatat sebagai situs ke-49 di rute utara Geopark Meratus, dengan karakter utama biologi dan fungsi wisata alam. Pada 3 Juni 2025, UNESCO mengakui Geopark Meratus sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp), menempatkannya sejajar dengan destinasi geowisata dunia lainnya. Sertifikat pengakuan diterima langsung oleh Gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, di Prancis.
Sekda Provinsi Kalsel, Muhammad Syarifuddin, mengatakan keberadaan Geopark Meratus memberi dampak nyata bagi masyarakat. “Banyak warga berinvestasi, membuka rumah makan, penginapan, hingga usaha kecil. Semua ikut tumbuh,” ujarnya.
Pemerintah daerah kini merancang penguatan infrastruktur agar Loksado semakin siap sebagai kawasan strategis pariwisata nasional. Melalui Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata, Festival Bamboo Rafting terus dipromosikan sebagai simbol kolaborasi antara masyarakat adat dan pelestarian alam.
Kini, penerbangan langsung dari Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, menuju Kuala Lumpur pun dibuka. Harapannya sederhana: semakin banyak wisatawan datang, semakin besar peluang ekonomi bagi warga Dayak Meratus yang menggantungkan hidup di aliran Sungai Amandit.
“Dengan adanya Geopark, Loksado makin dikenal lewat keunikan wisata dan budaya Suku Dayak,” kata Sano, anggota Kelompok Sadar Wisata Desa Lok Lahung.
Menjaga Alam, Menjaga Warisan
Namun bagi masyarakat Dayak Meratus, pengakuan dunia bukan segalanya. Mereka hanya ingin alam tetap terjaga. Bagi mereka, Geopark Meratus tak boleh menjadi celah bagi perusakan lingkungan atau eksploitasi hutan.
Mereka yang hidup turun-temurun di lereng Meratus sudah tahu, sungai dan bambu bukan sekadar sumber ekonomi. Itu bagian dari hidup, dari identitas. Maka ketika dunia datang membawa sertifikat pengakuan, mereka menjawabnya dengan kesetiaan lama: menjaga alam untuk anak cucu.








Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !