
Balikpapan, EKSPOSKALTIM — Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud mendorong pemanfaatan air dari lubang bekas tambang (void) sebagai sumber air baku, bahkan sumber air minum, jika memenuhi standar aman. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap bahaya senyap di balik pemanfaatan air dari eks tambang.
Usulan Gubernur Kaltim muncul setelah kunjungan kerja ke kawasan pascatambang PT Berau Coal, yang disebut menyimpan cadangan air sekitar 100 juta meter kubik. Pemerintah provinsi berharap model ini bisa direplikasi perusahaan tambang lain.
Namun gagasan itu mendapat kecaman keras dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Dinamisator JATAM Kaltim, Judika, menilai usulan pemerintah justru berbahaya dan menutup tanggung jawab perusahaan atas kerusakan lingkungan.
“Menurut kami itu logika sesat yang ditampilkan oleh pengurus negara dalam hal ini adalah Gubernur Kalimantan Timur,” ucapnya kepada EKSPOSKALTIM, Sabtu (27/9).
JATAM menyajikan hasil riset lapangan dan uji laboratorium yang mereka lakukan pada 17 lokasi void pertambangan. Dari 17 sampel, 15 ditemukan mengandung zat berbahaya dengan kadar yang berpotensi merusak bila dikonsumsi. Riset ini dirangkum dalam buku bedah alam berjudul Hungry Coal.
Pengujian laboratorium dan pengambilan sampel dilakukan pada rentang 20–25 September, dengan pengambilan sampel spesifik pada 19 September pukul 10.30 WITA. Kondisi fisik sampel dilaporkan berbau menyengat, sedikit keruh, dan bersuhu sekitar 28 derajat celsius.
Temuan utama menunjukkan konsentrasi aluminium, besi, dan mangan yang tinggi. Selain itu banyak sampel memiliki tingkat pH atau kadar keasaman yang tidak normal. JATAM menegaskan kombinasi unsur ini berpotensi merusak produksi tanaman dan budidaya ikan. Untuk manusia, paparan jangka panjang disebut bisa memicu penyakit kronis, mulai dari gangguan ginjal, kerusakan saraf, gangguan reproduksi pada perempuan, hingga kanker dan kematian dini.
“Meskipun memang kadang bahayanya itu tidak terlihat secara langsung. Bisa jadi paparan dan resikonya itu akan muncul beberapa tahun setelahnya,” jelasnya.
“Tapi tetap saja kandungan air di bekas lubang tambang itu sangat berbahaya jika digunakan untuk konsumsi air baku bagi masyarakat sekitar,” tambah Judika.
Selain uji void, penelitian JATAM juga mengangkat kondisi kualitas air Sungai Karang Mumus (SKM). Analisis menunjukkan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) yang signifikan, serta angka BOD dan COD yang tinggi, yang merupakan indikasi beban pencemaran organik berat.
Bagi JATAM, usulan mengolah air void menjadi air minum sama dengan dua kali meracuni masyarakat. Pertama, negara memberi izin pada aktivitas yang merusak. Kedua, negara mendorong publik untuk memakai sumber air yang tercemar sebagai solusi. Lantas, mereka menyebut langkah itu sebagai upaya “cuci dosa” oleh perusahaan tambang yang ingin lepas tanggung jawab reklamasi.
“Jadi menurut kami ini cuma sekadar cuci dosa dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang memang ingin meninggalkan tanggung jawabnya,” ucapnya kesal.
JATAM menuntut pemerintah menegakkan aturan reklamasi. Lubang harus ditutup. Perusahaan wajib mereklamasi lahan dan mengembalikan fungsi ruang hidup dan hutan sebagaimana tercantum dalam dokumen izin.
Sebelumnya, dari sisi pemerintah provinsi, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim, Bambang Arwanto, menilai potensi air dari void besar dan layak dikelola dengan teknologi tepat. “Potensi air dari lubang bekas tambang di Kaltim, seperti di Berau Coal, sangat masif. Jika dikelola benar, lokasi itu bisa jadi sumber air baku yang strategis,” kata Bambang, dikutip dari ANTARA Kamis (25/9).
Gubernur Kaltim, Rudy Masud pun menegaskan cadangan air tersebut dapat diolah menjadi air bersih, bahkan air minum, dengan syarat pemanfaatannya memenuhi standar aman. Ia berharap pemanfaatan void Berau Coal dapat dikerjasamakan dengan perusahaan daerah milik Pemkab Berau dan dijadikan langkah antisipasi terhadap perubahan iklim dan ancaman kekeringan di masa depan.
Butuh Ketegasan
Wacana mengubah void menjadi sumber air baku memang menawarkan solusi jangka panjang untuk cadangan air. Namun catatan JATAM menyorot dua masalah besar, yakni kualitas air saat ini dan tanggung jawab pascatambang. Mengelola air limbah tambang menjadi air konsumsi memerlukan investasi teknologi, pengawasan ketat, dan jaminan bahwa proses treatment atau pemurnian menghilangkan semua kontaminan berbahaya, termasuk logam berat dan penyeimbang pH, dalam jangka panjang.
Karenanya, JATAM menuntut agar setiap kebijakan tentang pemanfaatan void didasarkan pada prosedur hukum, data ilmiah transparan, dan audit independen. Perusahaan harus dipaksa menuntaskan reklamasi sesuai izin, bukan mengalihkannya kepada masyarakat sebagai solusi murah.
“Artinya kami sangat berharap adanya ketegasan dan tanggung jawab dari pemerintah baik daerah maupun pusat selaku pengurus negara untuk menekan para pengusaha-pengusaha tersebut agar dapat bertanggungjawab,” tutupnya.
Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !