
Balikpapan, EKSPOSKALTIM – Peneliti Nugal Institute, Merah Djohansyah, menilai kekerasan yang dilakukan personel Brimob terhadap warga Desa Jonggon, Kutai Kartanegara, sebagai pelanggaran serius. Ia menyebut kejadian itu mencerminkan pelanggaran hukum dan lemahnya pengawasan di tubuh kepolisian.
Merah menilai ada tiga pelanggaran dalam kasus ini: tindak pidana penganiayaan, pelanggaran kode etik, dan dugaan pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kekerasan terjadi dua kali dan melibatkan banyak warga sipil, sehingga layak dilihat sebagai pelanggaran HAM berat.
Kejadian bermula Kamis malam, 17 Juli 2025. Seorang warga bernama Puji Friayadi dipukul setelah menegur pemasangan balok kayu di jalan umum. Balok itu dianggap membahayakan pengguna jalan. Puji diseret, dikeroyok, pingsan, dan ditemukan dalam kondisi lemas. Ia sadar malam hari dengan pakaian yang sudah diganti tanpa sepengetahuannya. Setelah itu ia diminta tanda tangan surat yang isinya tidak ia pahami.
Keesokan harinya, sekitar 18 warga yang datang ke Mako Brimob juga mengalami kekerasan. Merah menyebut ini bukan insiden biasa. Ia menegaskan bahwa karena pelaku berasal dari satuan elit Brimob Korps II yang berada langsung di bawah Mabes Polri, maka tanggung jawab tak bisa berhenti di lapangan. Ia mendesak Kapolri dan pimpinan Polri bertanggung jawab secara struktural. Ia juga meminta Komisi III DPR RI dan wakil rakyat dari Kaltim ikut turun tangan.
Merah menyayangkan lemahnya pengawasan internal Polri. Ia menilai Propam tidak efektif. Ia juga menolak upaya menyelesaikan kasus ini lewat mediasi semata. Menurutnya, penyelidikan harus dilakukan secara independen dan transparan. Komnas HAM dan Kompolnas diminta turun langsung untuk memeriksa korban, memastikan visum, dan mengumpulkan bukti tanpa intimidasi. Ia juga berharap publik, media, dan kelompok sipil ikut mengawal kasus ini.
Peneliti ISESS, Bambang Rukminto, mengingatkan bahwa kekerasan oleh aparat bisa menggerus kepercayaan publik terhadap Polri. Menurutnya, jika dibiarkan, hal ini bisa memicu anarkisme. Negara bisa kehilangan legitimasi karena gagal menjalankan fungsi perlindungan terhadap warga. Ia menyebut ini bukan lagi soal pelanggaran individu, tapi soal kepercayaan publik pada hukum dan negara.
Sementara itu, Komandan Brimob Korps II, Brigjen Arif Budiman, menyebut insiden ini sebagai salah paham yang sudah diselesaikan lewat mediasi. Ia menjelaskan balok dipasang untuk mengurangi kebut-kebutan di depan markas. Ketegangan terjadi karena warga memprotes dan sempat memaksa masuk ke Mako. Ia mengatakan kericuhan dipicu informasi keliru yang menyebar di grup pesan. Brimob telah menemui keluarga korban dan menanggung biaya pengobatan luka ringan. Arif mengimbau warga tidak langsung bereaksi terhadap informasi yang belum terverifikasi.
Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !