
Muara Badak, EKSPOSKALTIM – Sejak pertengahan Desember 2024 hingga Juni 2025, nelayan budidaya kerang darah di Muara Badak terus memperjuangkan haknya akibat pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS).
Meski hasil uji laboratorium Universitas Mulawarman yang keluar pada 21 April 2025 menyimpulkan adanya pencemaran akibat aktivitas pengeboran PHSS, perusahaan masih belum memenuhi kewajiban ganti rugi kepada nelayan.
Yusuf, perwakilan nelayan terdampak, menyatakan bahwa pihak PHSS terus mengelak dari tanggung jawab. Akibatnya, pada 25 Mei 2025, Kementerian Lingkungan Hidup RI menurunkan tim ahli untuk melakukan investigasi. Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, pada 5 Juni 2025, kepada media ini, memastikan bahwa PHSS terbukti melanggar dan menjadi sumber pencemaran di pesisir Muara Badak.
Meski laporan lengkap dari tim Penegakan Hukum (Gakkum) belum rampung, hasil investigasi telah memberi kepastian bahwa perjuangan nelayan tidak sia-sia.
Namun, kemenangan itu rupanya masih bersifat simbolik. Ganti rugi, pemulihan lingkungan, dan sanksi terhadap PHSS belum dilaksanakan. Persatuan Nelayan Budidaya Kerang Darah menuntut:
- Ganti rugi penuh atas kematian massal kerang darah.
- Revitalisasi kawasan pesisir dan sungai Muara Badak.
- Sanksi tegas terhadap PHSS.
- Transparansi dan keadilan dari semua pihak.
- Percepatan penyelesaian agar nelayan bisa kembali beraktivitas.
Alih-alih mendapat keadilan, empat nelayan justru menerima surat panggilan dari Polres Bontang terkait dugaan penghasutan dan memasuki pekarangan tanpa izin dalam aksi demo pada Januari-Februari 2025. Mereka adalah Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre. Mereka diminta hadir sebagai saksi pada 25 Juni 2025.
Menurut Yusuf, dirinya dan dua rekannya merupakan bagian dari sepuluh nelayan yang sempat ditangkap usai demo 12 Februari. Ia heran pemanggilan kembali dilakukan, padahal sebelumnya mereka telah dibebaskan. “Kami pikir sudah selesai, kok dipanggil lagi?” ucap Yusuf.
Ia menegaskan bahwa semua aksi dilakukan dengan prosedur dan komunikasi dengan aparat. “Kami sudah koordinasi dengan Kapolsek, bahkan pada aksi 9 Januari hanya pakai surat tulisan tangan karena masyarakat sudah mendesak. Tapi tetap diberitahukan,” ujarnya.
Koordinator advokasi dari Pusat Advokasi Kalimantan Timur (Pusaka), Muhammad Taufik, menyebut pemanggilan itu sebagai bentuk kriminalisasi. “Kami melihat ini sebagai upaya membungkam perjuangan nelayan. Kami akan terus dampingi mereka secara hukum,” katanya.
Sebelumnya, pada Maret 2025, PHSS memberi bantuan sosial sebesar Rp600 juta kepada 299 nelayan, atau sekitar Rp2 juta per orang. Bantuan itu, menurut Yusuf, bukan bentuk ganti rugi, melainkan hanya kepedulian. “Ganti rugi itu kalau terbukti mencemari. Ini hanya bantuan sosial, tidak menggugurkan tuntutan kami,” tegasnya.
Pada 6 Juni 2025, Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak resmi melaporkan dugaan pencemaran ini ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim. Mereka menuntut agar kasus ini ditangani secara objektif dan adil. Yusuf menyebut ada sekitar 299 kepala keluarga terdampak, tersebar di enam desa, dengan lahan budidaya sekitar 1.000 hektare. Kerugian akibat gagal panen diperkirakan mencapai Rp68,4 miliar.
Menteri LHK Hanif Faisol kembali menegaskan, meski laporan Gakkum belum lengkap, hasil awal investigasi sudah cukup untuk menyatakan bahwa PHSS melakukan pencemaran. “Sanksi akan segera dijatuhkan,” katanya.
Media ini sudah menghubungi pihak PHSS. Namun Manager Comrel & CID, Dony Indrawan belum merespons.
Sebelumnya, ia menyatakan keprihatinan dan menyebut sudah bekerja sama dengan Dinas Sosial Kukar memberikan bantuan pada Maret. Mereka mengaku belum menerima keputusan resmi dari KLHK, dan menegaskan telah menjalankan operasi sesuai regulasi. “Kami akan menghormati keputusan KLHK dan terus berkomitmen meningkatkan pengelolaan lingkungan,” ujar Dony.
Untuk mengirim komentar, silahkan login atau registrasi terlebih dahulu !